SAYA BERSYUKUR MENJADI SEORANG MUSLIM
Muhammad Yusuf Sisus |
Masa Kecilku.
Ayah bunda saya orang Nias kelahiran
Padang. Ayah bernama Buyung Lava Lömbu, lahir 09 Maret 1915 di Rimbo Kaluang, Padang dan
ibu bernama Upik Zai alias Kanaati
Zai, lahir tahun 1935 di Pasar Usang. Kakek saya
(ayah dari ayah) bernama Suwökhi Lömbu berasal dari Sogaeadu, Kecamatan Gidö,
Gunung Sitoli Nias. Kakek dan nenek dari pihak ibu saya, keturunan Nias yang
lahir di Padang. Saya lahir 11 Oktober 1952 di Parupuk, Tabing, Padang. Nama
kecil saya Sisus dan nama ini saya pakai sampai saya masuk kuliah di
Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ). Ketika saya berusia lima tahun, ada
keluarga yang memberi nama khas Nias, yaitu Haogödödö Lömbu. Haogödödö artinya
perbaiki hati. Sewaktu saya kuliah di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ)
di Jakarta, bapak Rektor Prof. KH. Ibrahim Hosen meminta agar nama Sisus
diganti dengan Muhammad Yusuf. Saya setuju, tetapi nama Sisus tetap melekat,
maka nama saya menjadi Muhammad Yusuf Sisus alias Haogödö Lömbu.
Adik yang satu ibu satu ayah dengan
saya ada tiga orang, Djuwir (Uwin), Yusna dan
Eddy. Uwin lahir tahun 1954 meninggal dunia pada usia lima tahun, 07 Agustus 1959 di Bukit
Karan. Yusna lahir tahun 1957 dan Eddy lahir tahun 1959. Adik saya Eddy juga
punya nama Nias, yaitu Sökhiatulö, artinya bagus yang lurus. Ibu saya
meninggal 05 April 1960, saat itu saya masih duduk di bangku Klas I Sekolah
Rakyat. Adik saya Eddy masih menyusu dengan ibu, usianya belum setahun saat
ibu meninggal. Sekitar tujuh tahun kemudian,
tahun 1966 ayah menikah dengan ibu Sopan Dohare, keturunan Nias yang lahir tahun 1935 di
Pasar Usang. Dengan ibu sambung ini ada empat adik saya, namun yang hidup
saat ini dua orang, yaitu : Ingin lahir 29 Juli 1968 dan Lusia lahir 20
Oktober 1970. Lusia ini lahir kembar tiga, merupakan keluarga pertama yang
lahir kembar tiga di Bukit Karan. Namun dua kembarannya, semuanya perempuan,
meninggal dunia beberapa hari setelah lahir. Ayah saya meninggal 19 April
1975 di Bukit Karan, Padang.
Sewaktu saya berusia setahun, kami
pindah dari Tabing ke Bukit Karan, Rawang Kecamatan Padang Selatan. Setahu
saya mayoritas penduduk yang tinggal di Bukit Karan adalah orang Nias. Mereka
beragama Kristen Protestan dan sebagian kecil ada yang Kristen Katolik. Mata
pencaharian utama bertani. Sebagian lainnya bekerja sebagai kuli di Pelabuhan
Teluk Bayur. Ayah saya selain bertani, beliau juga tercatat pegawai Jawatan
Pelabuhan Teluk Bayur. Ayah mendapat pensiun dan sekarang masih diterima oleh
ibu Sopan.
Suatu hari ayah mengatakan kepada
saya, bahwa saya akan masuk Sekolah Rakyat Negeri No. 16 di Teluk Bayur. Tapi
ada syaratnya, yaitu untuk uang jajan, saya harus berjualan hasil kebun,
seperti ketela singkong, pisang dan sayuran di pasar. Hal itu saya sanggupi
asal sekolah. Saya masuk SR tahun 1959. Seingat saya, dulu itu sebulan masuk
pagi sebulan masuk siang, berlangsung secara bergantian. Bila sekolah masuk
pagi, saya berjualan di Teluk Bayur. Bila sekolah masuk siang, saya berjualan
di Gaung. Berjualan hasil kebun ini saya jalani selama lima tahun, yaitu
sampai klas V SR.
Sebagai seorang yang masih anak-anak,
saya juga bermain dengan teman-teman sebaya. Permainan yang saya suka antara
lain, main layangan, main gundu dan lain-lain. Saya sendiri pandai membuat
layangan yang berbentuk segi empat, di Padang disebut layang-layang “maco”
dan layangan yang memakai ekor panjang, yang dikenal dengan nama
layang-layang “darek”. Layang-layang darek ini bila sudah terbang tinggi, dia
melenggang-lenggok di udara, enak dilihat. Saat yang baik bermain layangan
adalah siang hari sampai sore.
|
Belajar agama Islam
|
Saya terlahir dari keluarga yang
percaya kepada arwah nenek moyang dan menyembah berhala (animisme). Sewaktu
masih duduk di bangku SR, sebenarnya saya boleh keluar pada jam pelajaran
Agama Islam. Namun saya memilih untuk mengikuti pelajaran agama Islam
tersebut. Guru Agama Islam yang pertama saya kenal adalah bapak Syamsul
Hidayat yang berasal dari Sicincin. Kemudian digantikan oleh ibu Siti Ramani
yang berasal dari Koto Tangah. Kedua guru agama di SR No. 16 Teluk Bayur ini
sangat saya kagumi. Bapak Syamsul Hidayat sangat piawai dalam bercerita.
Sementara ibu Siti Ramani tidak kalah menariknya dalam mengajar, beliau mampu
menyentuh hati murid-muridnya.
Ada pengalaman tidak terlupakan saat
ujian agama Islam di SR No. 16 Teluk Bayur. Saya sendiri tidak ikut ujian.
Teman saya yang muslim minta tolong saya menjawab beberapa soal ujian agama
Islam tersebut. Walaupun saya mengetahui jawabannya, saya tidak membantu
teman tersebut. Karena hal ini menyalahi peraturan pelaksanaan ujian.
Dari mengikuti pelajaran agama
tersebut dan memperhatikan ummat Islam di sekitar, saya jadi tertarik dengan
Islam. Bahkan saya yakin bahwa Islam adalah agama yang benar. Akhirnya saya
memutuskan untuk masuk Islam. Saya mengucapkan Dua Kalimat Syahadat pada hari
Kamis 31 Desember 1964 bertepatan dengan 27 Sya’ban 1384H. Saat itu saya
sudah klas VI SR dan usia saya 12
tahun.
Setelah masuk Islam, ada yang
menyampaikan kepada saya, jangan tanggung-tanggung kalau masuk Islam, tetapi
harus mendalami Islam itu. Beliau mengibaratkan buah manggis. Orang
mengatakan manggis itu manis, lalu dimakan tanpa membuka kulitnya, maka
terasan pahit. Seharusnya buah manggis itu dikupas dulu, kita akan melihat
isinya yang putih bersih dan manis bila dimakan. Demikian juga Islam, bila
tidak didalami, boleh jadi yang dirasakan repotnya beribadah, terkekang
karena ada yang diharamkan. Akan tetapi bila didalami agama Islam itu, akan
ditemukan indahnya Islam, manisnya iman, bahagianya mengamalkan ajaran Islam.
Itulah sebabnya kemudian saya memutuskan masuk ke PGAN 6 Tahun Padang, kuliah
di IAIN dan PTIQ.
|
Alasan masuk Islam
|
Saya setuju dengan adik saya Eddy
Ansori, ketika saya tanyakan mengapa dia masuk Islam? “Hidayah”, jawabnya
singkat. Saya juga demikian, saya mendapat Hidayah Allah. Namun banyak orang
menanyakan kepada saya prosesnya bagaimana?. Tentu ada hal-hal yang membuat
tertarik dengan Islam. Pada awalnya dulu ada tiga hal, yaitu : Kisah Nabi Ibrahim as,
keutamaan wudhu’dan shalat.
|
1.
|
Kisah Nabi Ibrahim.
|
Bapak
Syamsul Hidayat sangat pandai bercerita. Salah satu cerita yang menarik
perhatian saya adalah Kisah Nabi Ibrahim as. Dimulai dari Ibrahim mencari
Tuhan sampai dengan menghancurkan tuhan Raja Namrudz. Semangat kisah tersebut
tertanam di hati saya. Bodoh benar saya ini, masa menyembah berhala sesuatu
yang dibuat manusia. Allah yang menciptakan kita, masa kita menyembah yang lain? Zat yang layak disembah adalah Allah Sang Pencipta. LAA ILAAHA ILLA LLAAH, tiada tuhan selain Allah. Keyakinan ini menancap dalam hatiku.
|
|
2.
|
Keutamamaan wudhu’.
|
Orang
berwudhu itu bersih. Bersih itu sehat. Alangkah beruntungnya orang Islam,
sebelum shalat dia berwudhu’ terlebih dahulu. Dan semakin menambah keyakinan
saya terhadap Islam, di mana orang menemukan manfaat wudhu’ bagi manusia. Lihat
http://www.akhbarislam.com/2013/07/manfaat-dan-rahasia-tersembunyi-dibalik.html
|
|
Kalau digali lagi semakin ditemukan keutamaan-keutamaan ibadah dalam Islam. Subhaanallaah!
|
|
3.
|
Shalat.
|
SR No.
16 hari itu menyelenggarakan acara Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad
SAW. Penceramah Guru Agama Islam, Ibu Siti Ramani. Sebagaimana diketahui
bahwa perintah mendirikan shalat diterima Nabi Muhammad SAW pada saat peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Banyak
yang diperlihatkan Allah kepada Nabi SAW dalam perjalanan tersebut, salah
satunya adalah orang yang memukul-mukul kepalanya karena enggan shalat.
Timbul rasa takut dalam hati saya mendengar cerita orang memukul-mukul kepala
karena enggan shalat tersebut. Sehingga pada hari itu juga saya menyatakan
keinginan saya masuk Islam kepada ibu Siti Ramani.
|
Meninggalkan keluarga.
|
Semenjak ibunda saya meninggal tahun 1959, empat tahun lebih saya
tinggal bersama nenek Umi Gulö dan kakek Maun Zai, orang tua dari ibunda
saya. Di saat usia saya 12 tahun, waktu itu saya sudah kelas VI SR, pada hari
Kamis 31 Desember 1964 saya masuk Islam. Keinginan masuk Islam saya
rahasiakan baik kepada ayahanda maupun kepada kakek dan nenek saya. Takut
tidak diijinkan. Saya pergi bersama
guru agama saya ibu Siti Ramani ke Kantor Urusan Agama (KUA) di Jati Padang,
kira-kira 8 KM jaraknya di Bukit Karan.
Saya ditemani saudara sepupu,
Seli Waruwu. Kami diterima pak Oejoen, petugas KUA dan saya dibimbing
mengucapkan Dua Kalimat Syahadat.
Usai acara pengislaman, saya kembali
ke rumah kakek mengambil pakaian sehari-hari dan buku sekolah, lalu saya
pergi ke rumah Adimar, teman sekolah yang mengajar saya shalat. Ayahnya
bernama bapak Adel Mahyudin, pegawai Jawatan Kereta Api di Teluk Bayur.
Sebulan lebih saya di sini, dari Ramadhan sampai ‘Idul Fithri 1384H.
Karena ingin lebih dekat dengan rumah
guru mengaji Ustadz Marsudin, saya pindah ke rumah teman saya yang lain,
yaitu Irmansyah, anak dari bapak Idris Suki di Asrama Jawatan Pelabuhan Teluk
Bayur yang terletak dekat jalan menuju Air Manis. Baik Adimar maupun
Irmansyah, kami satu kelas di SR No. 16 Teluk Bayur. Beberapa bulan saya di
sini, kemudian pindah ke Masjid Muhammadiyah Teluk Bayur.
Suatu hari ayah datang menemui saya
di Masjid. Saya takut kalau beliau memarahi saya karena masuk Islam. Tetapi
tidak. Malah beliau menyerahkan kain sarung untuk saya gunakan shalat.
Alhamdulillah. Beliau ketika itu masih
seorang animis. Tiga tahun kemudian setelah saya masuk Islam, tahun 1967 ayah
bersama keluarga besar lainnya masuk Kristen Katolik.
|
Jadi anak Muhammadiyah dan Aisyiah.
Tamat SR saya masuk Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) 6 Tahun Padang.
Biaya sekolah dan makan sehari-hari selama enam tahun saya di PGAN ditanggung
Muhammadiyah dan Aisyiah Teluk Bayur. Saya sangat berutang budi dengan
masyarakat muslim Teluk Bayur, khususnya yang tergabung dalam organisasi
Muhammadiyah dan Aisyiah Teluk Bayur, yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu di sini. Sehingga saya ini disebut anak Muhammadiyah dan Aisyiah.
Biaya
sekolah dan pakaian diusahakan oleh bapak-bapak Muhammadiyah. Bapak A Kasim,
beliau Ketua Muhammdiyah saat itu, paling rajin mengumpulkan infak untuk biaya
sekolah dan pakaian saya. Adapun makan sehari-hari ditanggung secara bergilir
oleh ibu-ibu Aisyiah. Misalnya bulan Januari saya makan di rumah ibu Darimin,
bulan Pebruari di rumah ibu Jani Bonjol, bulan Maret di rumah ibu Yunibar,
bulan April di rumah Aci Jalinus, bulan Mei di rumah ibu Jani Amir, dan
seterusnya di tempat ibu-ibu lain secara bergantian.
Sejak kelas I sampai klas V PGAN saya tinggal di Masjid Muhammadiyah
Teluk Bayur. Masuk kelas terakhir atau klas VI PGAN saya tinggal di rumah ibu
Khadijah Zakaria, ibunda dari taci Syafiyeti Rasyad dan Lailawati Rasyad. Saya dan Lailawati Rasyad sama-sama kelas VI
PGAN sehingga kami bisa belajar bersama untuk menghadapi ujian akhir. Rumah ibu
Khadijah Zakaria tidak jauh dari Masjid, hanya berjarak kira-kira 50 meter.
Semenjak tinggal di rumah ibu Khadijah, makan saya tidak lagi pindah-pindah
dari satu rumah ke rumah yang lain.
Lima komitmen seorang
muslim terhadap Islam.
Dari pendidikan formal yang saya tempuh,
tercatat 12 tahun belajar agama Islam, yaitu di Pendidikan Guru Agama Negeri
(PGAN) 6 Tahun Padang selama enam tahun,
di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta selama empat tahun dan di
Perguruan Tinggi Ilmu Dakwah Jambi selama dua tahun. Pendidikan umum saya
tempuh sewaktu di Sekolah Rakyat (SR) di Teluk Bayur Padang dan Pascasarja S-2
Universitas Indonesia.
Saya sangat sependapat dengan isi
khutbah yang pernah disampaikan seorang khatib sekitar tahun 2006 di Masjid
Al-Maghfirah PT Jamsostek (Persero) yang menyebutkan ada lima komitmen seorang
muslim terhadap Islam, yaitu :
1.
|
Meyakini kebenaran Islam 100%.
|
Manusia
adalah ciptaan Allah. Apa agama yang paling tepat untuk manusia? Tentu Dia
yang paling mengetahui. Alhamdulillah, agama dimaksud sudah ditetapkan oleh
Allah yaitu agama Islam. Karena Islam itu dari Allah, seorang muslim harus
meyakini bahwa Islam ini benar 100%.
|
|
2.
|
Mendalami Islam.
|
Dari filosofi manggis yang
diutarakan terdahulu, bahwa Islam itu harus dikupas, dipelajari, didalami,
maka kita wajib mendalami Islam agar kita mengetahui Islam sampai ke isinya,
tidak hanya kulit. Kalau kita hanya belajar kulit, boleh jadi kita merasakan Islam
ini agama yang merepotkan, agama yang berat dan sebagainya. Saya merasa
beruntung dapat belajar agama Islam secara formal selama 12 tahun. Jujur saya
sampaikan, bahwa ilmu yang saya peroleh tentang Islam masih sangat dangkal.
Namun dari yang dangkal ini, hati saya semakin mantap memilih Islam sebagai
agama saya. Saya bahagia menjadi seorang muslim.
|
|
3.
|
Mengamalkan Islam secara kaffah.
|
Bapak
HS Djurtatap, tetatangga saya di Serpong, beliau seorang wartawan Harian
Pelita dan juga seorang penyair. Saya tertarik dengan uraian beliau saat
menyampaikan kuliah tujuh menit “kultum” di Masjid Al-Ihsan Komplek Astek
Serpong. Ummat Islam itu harus mengamalkan Islam itu secara kaffah, utuh,
total. Beliau mengibaratkannya seumpama cengkeh, yang mana bunganya, daunnya,
kulitnya, batangnya dan sampai ke akarnya, aromanya menunjukkan aroma
cengkeh. Memang yang dominan pada bunganya. Tetapi bila kita cium daunnya,
kita dapat mengatakan ini daun cengkeh. Beda dengan duren. Buahnya dari
kejauhan sudah tercium bau duren. Tetapi tidak demikian dengan daunnya, tidak
ada bau duren sedikitpun.
Maksud
dari perumpamaan ini adalah kalau kita mengaku seorang muslim maka amal
perbuatan kita seluruhnya berdasarkan Islam. Jangan mengaku muslim, tetapi
perbuatannya tidak Islami.
|
|
4.
|
Mendakwahkan Islam
|
Ajaran
Islam yang demikian indah ini harus disebar-luaskan. Untuk itu perlu dipersiapkan
organisasi dakwah yang baik. Jangan sampai ada orang tertarik dengan Islam,
kemudian disuruh dia mengucapkan Dua Kalimat Syahidat, tetapi sesudah itu
dilepas, tidak ada bimbingan sama sekali. Orang yang tidak mendapat bimbingan
Islam secara sempurna, maka dia merasakan Islam itu bagaikan kulit manggis
yang pahit. Dia bisa kembali ke agama sebelumnya dan ikut menjelek-jelekan
Islam.
|
|
5.
|
Membela Islam.
|
Orang
yang merasakan indahnya Islam, manisnya iman, maka dia akan membela Islam
tersebut. Dia akan mengorbankan harta bendanya, bahkan jiwanya guna mencari
Ridho Allah.
|
Kehidupan saya dimudahkan Allah.
Ada
kekhawatiran karena tidak lagi bersama orang tua, maka pendidikan saya
terganggu, masa depan tidak jelas, dan sebagainya. Namun Alhamdulillah tidak
demikian. Ada jalan kemudahan yang diberikan Allah. Saudara sesama muslim
membantu saya dengan ikhlas. Saya bisa menyelesaikan pendidikan sampai S-2,
sebagian dapat bea siswa. Bekerja di PT Jamsostek (Persero) sebuah BUMN yang
besar yang kini menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Setelah pensiun ada yang mengajak
untuk mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) dan Universitas
Al-Azhar Indonesia. Bukan itu saja, diberi pula amanah menjadi Direktur Utama
(2008 - 2013) di As-Salam Travel, Biro Perjalanan Umroh.
Kehidupan rumah tangga saya dengan Noverlemi Paraman, sejak menikah 17
Maret 1977 sampai sekarang, relatif aman. Semoga berlanjut sampai akhir hayat dan bisa berkumpul kelak di Surga. Allah
karuniai tiga orang anak yang sehat, satu perempuan bernama Ulfah Yusuf dan dua
laki-laki, yaitu Luthfi Yusuf dan Ihsan Yusuf. Ulfah dan Luthfi sudah berumah
tangga. Allah tambah lagi karunia itu dengan empat cucu. Kami ada rumah tempat
istirahat di Serpong dan ada pula kendaraan untuk bepergian. Saya utarakan ini dalam rangka tahaduts binni'mah.
Sungguh saya bersyukur menjadi seorang muslim. Saya merasakan kebahagiaan lahir batin. Saya berdo’a kepada Allah kiranya
Allah menolong saya hingga akhir hidup dalam keadaan husnul khatimah. Aamiin!
Hati terpanggil untuk Nias.
Bila ada yang bertanya, saya
selalu mengatakan bahwa saya orang Nias. Karena memang ayah bunda saya adalah
orang Nias. Kemudian saya jelaskan bahwa saya lahir di Padang. Ayah bunda
saya juga lahir di Padang. Kakek saya Suwökhi Lömbu yang asli dari Nias, berasal dari Desa
Sogaeadu, Kecamatan Gidö, Gunung Sitoli, Nias. Walau mengaku orang Nias, baru
pada usia 54 tahun, tepatnya hari Jum’at tanggal 14 April 2006 saya pertama kali
menginjakan kaki di Nias (Tanö Niha), setahun setelah gempa dahsyat yang
terjadi tanggal 28 Maret 2005.
Ada orang Nias yang saya kenal, sudah seperti kakak sendiri, namanya
Bassir Tanjung’s. Kami berkenalan sewaktu saya kuliah di PTIQ di Jakarta.
Beliau dinas di POLRI dan tinggal di Asrama SEKOPPOL Pasar Jumat tidak jauh
dari Kampus PTIQ. Beliaulah yang menemani saya ke Nias. Saat itu beliau sudah
pensiun dan tinggal di Komplek POLDA, Jalan Flamboyan I Blok A No. 4, Tanjung
Selamat Medan. Selama di Nias, saya dibawa melihat masjid-masjid dan mushalla
yang runtuh di sekitar Kota Gunung Sitoli. Kemudian saya dibawa ke Sogaeadu,
Kecamatan Gidö daerah asal kakek saya. Di Sogaeadu yang mayoritas penduduknya
beragama Kristen, saya jumpai Masjid Jami’ Al-Furqan. Ummat Islam di Soageadu
ada 12 kepala keluarga, itupun sebagian ada yang hijrah akibat peristiwa gempa.
Ummat Islam di Nias meminta
agar saya dan siapapun yang peduli untuk menyampaikan kepada masyarakat muslim Nias di rantau dan
ummat Islam di manapun berada, untuk mengirim zakat, infaq dan sedekah (ZIS)
guna membangun Masjid dan Mushalla yang runtuh akibat gempa di Nias. Masjid
dan Mushalla di seluruh Nias tercatat sebanyak 154 unit, yang rusak parah 32
unit dan rusak ringan 45. Beberapa di antara yang rusak parah adalah Masjid
Raya Al-Furqan, Mushalla Madrasah Islamiyah, Masjid Al-Falah Tohia, Masjid
Taqwa Desa Boyo, Masjid Saombo dan lain-lain.
Berangkat dari lima komitmen seorang muslim terhadap Islam di atas, kemudian
memperhatikan kondisi masjid dan mushalla yang rusak, hati saya terpanggil
untuk Nias. Saya menyadari keterbatasan
saya, namun kalau dihadapi bersama-sama, Insya Allah pekerjaan berat menjadi
ringan. Permintaan ummat Islam Nias ini saya bicarakan dengan sesepuh
masyarakat muslim Nias di Jakarta. Dicapai kesepakatan untuk membentuk sebuah
Yayasan yang diberi nama Yayasan Peduli Muslim Nias (YPMN). Untuk menindak
lanjuti hal tersebut dilangsungkan pertemuan di kantor tempat saya bekerja
(Dana Pensiun Karyawan Jamsostek di Jakarta) pada tanggal 6 Oktober 2006.
Maka berdirilah YPMN dituangkan Akta Notaris : Drs. H.A. Taufiqurrahman S,
SH, Nomor : 2, tanggal 6 Oktober 2006. YPMN ini disahkan oleh Keputusan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Nomor :
C-2708.HT.01.02.TH 2006 dan dimuat dalam Tambahan Berita Negara RI tanggal
29/8-2008 No. 70. Ketua Pembina : Bapak Haji M Danial Tanjung. Ketua Pengawas
: Bapak Drs Haji SW. Hilal Alqudus. Ketua Pengurus : Haji M Yusuf Sisus.
YPMN berusaha menggalang dana kemudian dikirim ke Nias, dibagikan
untuk beberapa masjid dan mushalla. Dana yang dibagikan tersebut tidak
memadai untuk membangun atau memperbaiki masjid mushalla yang rusak. Dana
yang dibagi-bagikan tersebut berkisar antara Rp 2,5 juta sampai Rp 15 juta
per masjid dan mushalla. Sebenarnya untuk pembangunan kembali rumah-rumah
ibadah di Nias sangat diharapkan dari bantuan dana Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi (BRR). Namun selain dana BRR itu diutamakan untuk perbaikan infra struktur dan rumah-rumah yang rusak,
jumlah yang diberikan untuk rumah-rumah ibadah tidak memadai untuk membangun
kembali rumah-rumah ibadah yang berskala besar, seperti Masjid Raya Al-Furqan
yang terletak dekat rumah Dinas Bupati dan Pasar Gunung Sitoli.
Ada juga masjid yang langsung dibangun di mana dananya sudah tersedia.
Masjid Agung Teluk Dalam dibangun dengan dana yang terkumpul dari Pembaca
Pikiran Rakyat Bandung.. Masjid Agung Kabupaten Nias dibangun dengan dana
bantuan Internasional. Masjid Al-Falah Tohia Gunung Sitoli dibangun dari
sumbangan pegawai Bank Indonesia.
YPMN bersinnergi dengan Al-Azhar Peduli
Ummat.
Dari tahun 2006 sampai 2007 YPMN mencoba menggalang dana, mengirim
proposal ke Kantor-Kantor Pemerintah dan BUMN, mengunjungi beberapa masjid di
Jakarta, dana yang terkumpul sekitar Rp 300 juta. Jumlah tersebut setelah
digabung dengan uang yang terkumpul di Nias.
Dana yang terkumpul dari infaq setiap Jum’at dan hari-hari lain di
Masjid Al-Furqan, rata-rata Rp 1 juta seminggu atau atau Rp 4 juta sebulan. Sulit
untuk membangun Masjid Raya Al-Furqan
dengan uang sebesar itu. Tanggal 30 Januari 2009 tercapai kesepakatan antara
YPMN dan LAZ Al-Azhar bersinnergi menggalang dana untuk Masjid Al-Furqan
Nias.
Menurut rencana Masjid ini
akan dibangun 2.5 lantai di atas tanah seluas 1.682 M², yang dapat menampung
800 jamaah. Bentuk bangunan Masjid Al-Furqan Nias mengambil nuansa Masjid
Quba’ di Madinah. Hai ini tercermin dari warnanya yang putih dan dua buah
menara tinggi di depan debelah kiri kanan mihrab. Juga meniru Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru
Jakarta, yaitu lantai atas untuk shalat lima waktu dan lantai bawah untuk
ruang serbaguna. Konstruksi bangunan
masjid ini dibuat tahan gempa. Selain itu juga anti karat agar tak mudah
rusak kena air garam, mengingat lokasinya di pinggir pantai.
Peletakan batu pertama pembangunan kembali
Masjid Raya Al-Furqan dilaksanakan pada 8 Agustus 2009 oleh Bapak Afif Hamka
dari LAZ Al-Azhar dan Bapak Binahati B. Baeha selaku Bupati Nias. Kontraktor
Pelaksana PT Moelia Graha Estetika yang dipimpin oleh Bapak Masyuri
Kurniawan. Dana yang masuk di YPMN dan
LAZ Al-Azhar (untuk Al-Furqan) tidak seimbang dengan dana yang diperlukan.
Menjelang akhir tahun 2009 pembangunan Masjid Al-Furqan terhenti di tengah
jalan, karena tidak ada dana.
Setahun lebih pembangunan Masjid Al-Furqan terlantar. Kondisinya menyedihkan, halaman ditumbuhi semak-semak, besi berkarat dan temboknya retak-retak. Sudah diusahakan mencari dana kemana-mana, termasuk menghubungi Pemda Sumatera Utara, hasilnya tidak seberapa. Alhamdulillah, Selasa 04 Oktober 2011, Bapak Haji Hanif seorang pengusaha muslim dari Medan sengaja datang ke Nias menyerahkan infaq sebesar Rp 500.000.000,- LAZ Al-Azhar mengucurkan dana Rp 200 juta. YPMN Rp 100 juta. Ditambah saldo dana yang ada pada Panitia Pembangunan Masjid Al-Furqan di Nias. Maka pembangunan Masjid Al-Furqan dilanjutkan kembali.
Harga matrial naik dan harga di Nias
lebih mahal dari harga di kota-kota seperti Medan, karena diperhitungkan
ongkos angkut. Sementara dana yang masuk semakin seret. Memperhatikan kondisi
penggalangan dana yang tidak mendukung, maka Rapat YPMN dengan LAZ Al-Azhar
pada 24 Mei 2012 memutuskan bahwa Kepanitiaan Pembangunan Masjid Raya
Al Furqan Nias adalah wewenang penuh dari Kenaziran Masjid Raya Al Furqan.
Kewenangan ini mencakup perubahan disain, RAB dan pelaksanaan pekerjaan
pembangunan fisik masjid. Semenjak itu pembangunan Masjid Al-Furqan terhenti
kembali.
Ustadz Yusuf Mansur ke Nias.
Penggalangan dana dilanjutkan oleh Yayasan
Rumah Infaq yang dipimpin oleh Ustadz Yusman Dawölö. Ustadz muda alumni
Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Muhammad Nasir berusaha melakukan penggalangan
dana dengan berbagai cara yang halal. Pengusaha bekam yang sedang naik daun
ini berhasil mengajak Ustadz Yusuf Mansur untuk mengisi Tabligh Akbar dalam
rangka menyambut Tahun Baru 1 Muharam 1436H. Tanggal 8 Nopember 2014 Ustadz
Yusuf Mansur, ustadz M Anwar Sani, M Yusuf Sisus, ustadz Yusman Dawölö
disertai dua orang anggota Tim Yayasan Rumah Infaq berangkat ke Nias. Malam
harinya dilaksanakan Tabligh Akbar di Lapangan Merdeka Gunung Sitoli dengan
pembicara tunggal Ustadz Yusuf Mansur.
Malam itu terkumpul infak, gabungan dari perhiasan mas dan uang
sebesar Rp 100 juta.
Saya mempunyai hitung-hitungan
seperti di bawah ini. Penduduk Kota Gunung Sitoli ada 100.000 jiwa. Bila
diasumsikan yang muslim 10% (mungkin lebih besar dar itu) dan mau berinfak
untuk Masjid Al-Furqan sebesar Rp 1.000 setiap hari, maka dalam setahun Insya
Allah terkumpul infak sebesar 10.000 jiwa x Rp 1.000,- x 365 hari = Rp 3,65
miliar.
Semoga terwujud Masjid Raya Al-Furqan
Kota Gunung Sitoli yang kokoh dan indah.
Pesan saya kepada generasi muda.
Cobaan dan
godaan di akhir zaman ini semakin hebat. Bila keimanan tidak kuat, maka
seseorang itu bisa rontok, jatuh ke lembah nista. Padahal kehidupan di dunia
ini hanya sebentar. Kita akan kembali menghadap Sang Pencipta, Allah SWT.
Oleh karena itu, pergunakanlah masa muda ini untuk menimba ilmu
sebanyak-banyaknya, di samping ilmu umum, jangan lupa mendalami agama serta
mengamalkannya. Agar selamat di dunia dan di akhirat.
----------------------------------------------------------oOo------------------------------------------------------------
Keluarga
|
||||
Buyung Lava Lömbu dan Upik Zai, dikarunia anak empat orang, yaitu :
1. M Yusuf Sisus (Islam 31/12/1964 di Padang)
2. Djuwir (Uwin) (meninggal dalam usia empat tahun)
3. Yusna (Katholik)
4. Eddy (Islam 29 Juli 1983 di Jakarta)
|
Buyung Lava Lömbu dan Sopan Dohare, dikarunia anak empat orang,
yaitu :
1. Ingin (Katholik)
2. Lusia (Katholik)
3. Kamba Rami (meninggal dlm usia sehari)
4. Kamba Ati (meninggal dlm usia sehari)
|
|||
Saya menikah tanggal 17
Maret 1977 dengan Noverlemi Paraman asal Cupak Solok Sumatera Barat,
dikarunia anak tiga orang :
1. Ulfah Yusuf (lahir 01 Juni 1979 di Jakarta)
2. Luthfi Yusuf (lahir 23 Juni 1982 di Jakarta)
3. Ihsan Yusuf (lahir 18 Mei 1987 di Jakarta)
|
||||
Ulfah Yusuf dan Luthfi Yusuf sudah berumah
tangga, masing-masing mempunyai dua orang anak, atau saya sudah mempunyai empat orang cucu, yaitu :
1. Khairunnisa (lahir 05 Agustus 2004)
2. Wardah Al-Humairah (lahir 09 April 2006)
3. Delisha (lahir 17 Desember 2012)
4. Muhammad Faisal Amin (lahir 22 Maret 2014)
Cucu nomor 2 dan 4 adalah anak Ulfah Yusuf,
sedang nomor 1 dan 3 adalah anak Luthfi Yusuf.
|
||||
Domisili
|
||||
1.
|
1952 - 1953
|
Parupuk, Tabing, Padang
|
||
2.
|
1953 - 1964
|
Bukit Karan, Kec. Padang Selatan, Padang
|
||
3.
|
1965 - 1972
|
Teluk Bayur, Padang
a.
Rumah
bapak Adel Mahyuddin (1965)
b.
Rumah
bapak Idris Suki (1965)
c.
Masjid
Muhammadiyah (1966 – 1970)
d.
Rumah
Ibu Khadijah Zakaria (1971 – 1972)
|
||
3.
|
1972 - 1976
|
Kampus PTIQ, Pasar Jum’at Jakarta
|
||
4.
|
1976
|
Rumah bapak A. Bidawi Zubir di Tebet,
Jakarta Selatan
|
||
5.
|
1976 - 1981
|
Rumah bapak Arief Soehardjo di Cempaka Putih, Jakarta Pusat
|
||
6.
|
1982 - 1984
|
Pondok Gede, Bekasi
|
||
7.
|
1984 - sekarang
|
Serpong, Tangerang, Banten
|
||
Tanggal-tanggal
penting
|
||||
1.
|
11 Oktober 1952
|
Saya lahir di Parupuk, Tabing, Padang
|
||
2.
|
31 Desember 1964
|
Masuk Islam di Padang
|
||
3.
|
17 Maret 1977
|
Menikah dengan Noverlemi Paraman
|
||
4.
|
01 Juni 1979
|
Mulai bekerja di Perum Astek (Jamsostek,
sekarang BPJS Ketenagakerjaan)
|
||
5.
|
01 Juni 1979
|
Anak pertama lahir, diberi nama Ulfah Yusuf
|
||
6.
|
14 April 2006
|
Pertama kali mengunjungi Nias (tanah leluhur)
|
||
7.
|
01 Nopember 2008
|
Pensiun dari PT Jamsostek (Persero)
|
||
Pendidikan
|
||||
1.
|
1959 - 1965
|
Sekolah Rakyat (SR) No. 16 Teluk Bayur,
Padang
|
||
2.
|
1965 – 1971 (bea siswa)
|
Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) 6 Tahun Padang
|
||
3.
|
1972 – 1976 (bea siswa)
|
Fakultas Ushuluddin Perguruan Tinggi Ilmu
Al-Qur’an (PTIQ) di Jakarta
|
||
4.
|
1993 - 1995
|
Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Muhammadiyah di
Jambi
|
||
5.
|
1996 – 1998 (bea siswa)
|
Paca Sarjana (S-2) FISIP Universitas
Indonesia (UI) di Jakarta
|
||
Pekerjaan
|
||||
1.
|
1976 - 1979
|
Perpustakaan Islam Yayasan Pendidikan
Al-Qur’an (YPA) di Jakarta.
|
||
2.
|
1979 - 2004
|
PT Jamsostek (Persero)
|
||
3.
|
2004 - 2008
|
Dirut Dana Pensiun Karyawan Jamsostek
|
||
4.
|
2007 - sekarang
|
Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an
(PTIQ) di Jakarta
|
||
5.
|
2007 - sekarang
|
Dosen Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI)
di Jakarta
|
||
6.
|
2008 - 2013
|
Dirut PT As-Salam Mulya Al-Haromain (Biro
Perjalanan Umroh) di Jakarta
|
||
7.
|
2013 - sekarang
|
Komisaris PT As-Salam Mulya Al-Haromain
(Biro Perjalanan Umroh) di Jakarta
|
||
Pertama kali ke Nias, 14 April 2006. |
Saya dan uda Nasroul Hamzah (YPI) bertemu Bupati Nias, bapak Binahati B. Baeha. |
Peletakan Batu Pertama Masjid Al-Furqan oleh bapak Afif Hamka (YPI) dan Bupati Nias. |
Bersama Ustadz Yusuf Mansur dan Kepala Kantor Kemenag Gunung Sitoli melihat Masjid Al-Furqan yang terbengkalai. |
Bersama isteri tercinta Noverlemi Paraman dan cucu nomor empat Muhammad Faisal Amin. |
Komentar